Undangan yang hadir tidak begitu banyak. Padahal di Keuskupan Agung Jakarta terdapat 56 Paroki, yang idealnya memiliki seksi kerawam. Ternyata belum semua paroki mempunyai seksi kerawam.
Menurut Krissantono, tokoh awam dan pengamat politik, belum terbentuknya seksi kerawam di paroki ini disebabkan oleh belum adanya pemahaman tentang tugas-tugas seksi ini oleh dewan paroki. Hal-hal lain yang dapat menjadi penyebab antara lain adalah: pastor paroki belum melihat pentingnya seksi kerawam dan pembinaan kaum awam di paroki-paroki belum berjalan baik. “Kalau ada seksi kerawam, tidak ada person yang mengembangkan tugas ini,” ungkap Krissantono dalam Pertemuan Orientasi Seksi Kerasulan Awam Paroki Se-Keuskupan Agung Jakarta di Aula Sekolah Santa Maria, Jl. Batu Tulis, Jakarta Pusat, Minggu (31/1) lalu. Hajatan yang digelar Komisi Kerasulan Awam KAJ itu menghadirkan Romo Frans Magnis-Suseno SJ, Krissantono, Restu Hapsari, dengan moderator Chris.
“Memberdayakan kaum awam dan membentuk seksi kerawam adalah mutlak,” ujar Krissantono. Krissantono menyentil kebingungan orang Katolik saat menghadapi pemilu presiden dan legislatif tahun lalu (2009). Umat datang kepada pastor paroki dan bertanya, kita memilih siapa atau partai apa. “Sebenarnya itu adalah tugas seksi kerasulan awam di paroki, bukan tugas seorang pastor paroki. Hal ini terjadi, karena seksi kerawam di paroki tak diberdayakan,” tuturnya.
Seksi Kerawam seharusnya lebih aktif memainkan peranannya di tengah umat, karena ia juga terutus menjadi garam dunia. Perlu ditampik pandangan bahwa politik itu bertentangan dengan iman. Gereja tinggal dan berkarya di dalam dunia, maka ia harus “tinggal” di tengah dunia seraya mengantar masyarakat kepada Tuhan.
Kerawam yang ada di paroki-paroki dipanggil untuk memasuki bidang-bidang kehidupan yang bukan menjadi wilayah kerja seorang imam. “Bidang-bidang dimana seorang pastor paroki tidak bisa masuk, di situlah kaum awam harus ambil bagian,” tambah Krissantono.
Sementara itu Romo Frans Magnis-Suseno SJ melihat pentingnya Kerasulan Awam dengan memperhatikan sisi martyria (kesaksian) dan diakonia (pelayanan) dalam tugas-tugasnya. Apapun yang kita lakukan, di manapun kita berada, dalam situasi apapun, kita umat Katolik harus bisa membawa diri dengan sadar dalam memberikan kesaksian tentang kegembiraan, kebaikan dan kesembuhan hidup sesuai Injil. “Kesaksian-kesaksian hidup kita itu membutuhkan pengorbanan. Kisa bersaksi lewat tutur kata, sikap, perilaku yang baik dan tindakan yang membela keadilan dan kemanusiaan. Inilah kekuatan Roh Kudus yang ada dalam diri setiap orang yang telah dibaptis. Dengan kata lain, lewat kerasulan awam, kita hadir dengan memancarkan kekuatan penyembuh dari Kristus pada masyarakat. Itulah spiritualitas awam,” jelas Romo Magnis SJ.
Menurut Romo Magnis, spiritualitas yang dimaksudkan adalah keterarahan batin seseorang dalam mengambil sikap, dalam mengerti dan menanggapi, dalam mengambil keputusan, mengungkapkan arah dasar batin yang luhur, rohani dan bukan emosi. Spiritualitas inilah yang harus mewarnai seluruh proses hidup kita.
Jika kita berani memberikan kesaksian berarti kita juga mau melayani (diakonia) seperti Yesus melayani. Kita aktif melayani sesama dengan memberikan bantuan dan dukungan kepada orang yang membutuhkan. Melayani orang lain atau melayani masyarakat berarti melayani Kristus sendiri. Kita tidak boleh eksklusif, tetapi memberi pelayanan kepada semua orang, tanpa kecuali. Dengan diakonia seperti itu berarti kita ikut menciptakan masyarakat yang baik.
Bagi Romo Magnis, ada 5 tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, termasuk umat Katolik sebagai warga negara. Pertama, mempertahankan Pancasila. Kita tertantang ketika Pancasila terus-menerus hendak digeser dan diganti ideologi lain, yang akan menyusahkan kehidupan masyarakat. Kedua, menghidupkan demokrasi. Demokrasi adalah sarana terbaik dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dalam alam demokrasi, semua orang diajarkan untuk saling terbuka dan saling menerima perbedaan. Ketiga, kemiskinan. Kita ditantang untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan kemiskinan dihapus, Keadilan sosial, seperti tertuang dalam ajaran sosial gereja yang saat ini sudah berusia 107 tahun menuntut untuk itu. Keempat, mengakhiri tindak kekerasan. Masyarakat katolik hendaknya memberikan teladan dan menghindari hal-hal yang menjadi kebiasaan dalam masyarakat serta mendorong agar seluruh masyarakat berlaku secara beradab. Kelima, memberantas korupsi. Kita ditantang untuk tidak ikut menjadi pelaku Korupsi.
Sebagai kerawam kita dituntut terlibat, tidak abstain dan tidak menghindar dari wilayah publik, dan Justru masyarakat Indonesia mengharapkan sumbangan dan peran aktif umat Katolik. (Harsubeno Lesmana)